Resensi Buku


Judul buku : Peristiwa Garut, titik balik Kejayaan Sarekat Islam
Penulis : H. Aqib Suminto
Penerbit : Prisma
Tahun : 1984
Volume : 11
Tebal buku : 88-97 (11 Halaman)


Peristiwa Garut terjadi di desa Cikendal Leles Garut jawa Barat, pada tanggal 7 Juli 1919. Pemerintah kolonial pada masa itu menetapkan bahwa para petani wajib menjual sejumlah tertentu hasil panen padinya kepada pemerintah. Haji Hasan yang memiliki 10 bahu sawah dengan hasil 250 pikul padi, diwajibkan menjual 42 pikul padinya kepada pemerinta, dengan harga f.4, - per pikul menurut laporan pemerintah di Volksraad lebih tinggi dari pada harga setempat. Padahal Soerabajaasch Handelsblad, harga padi setempat pada saat itu sudah mencapai f.7,50 per pikul. H.Hasan (selanjutnya ditulis : HH) yang setahun sebelumnya dipaksa harus memusnahkan tanamannya dan menggantinya dengan padi, merasa keberatan atas ketentuan ini terutama karena HH menanggung kehidupan 84 orang anggota keluarga. Bukan tentang harga, tetapi tentang ketentuan jumlah. Ia hanya menghendaki keringanan dengan hanya menjual 10 pikul agaknya pemerintah kolonial tetap menganggap keenganan HH untuk mematuhi ketentuan penjualan padi tersebut sebagai suatu pembangkangan, sehingga terjadilah peristiwa 7 Juli 1919 tersebut.
Pada Sabtu dan minggu di Garut diadakan pesta perlombaan kuda yang dihadiri seluruh aparat pemerintah Garut. Hari Senin 7 Juli, Residen beserta Asisten Residen dan Bupati mendatangi desa Cikendal untuk menangkap HH, dengan rombongan yang diperkuat 40 orang tentara dan 27 orang polisi bersenjata. Setelah terjadi pembicaraan hampir selama 2 jam, HH di perintahkan ikut ke Garut. Tetapi HH bahkan masuk ke rumah dan diikuti oleh yang lain, kemudian menutup pintu serta jendela. Mereka berzikir bersama, sementara perintah keluar rumah terus diteriakkan dari luar. Mereka tetap asyik berzikir meskipun sudah dilakukan 2 kali Salvo sebagai peringatan. Tembakan ketiga benar – benar diarahkan ke rumah sehingga jatuh korban di dalam rumah seluas 8 x 9 meter itu terdapat 116 orang perempuan, laki – laki, dan anak – anak. Korban dalam tembakan ketiga tersebut adalah 4 orang terbunuh seketika termasuk HH sendiri, seorang luka para yang meninggal setengah jam kemudian. Dari 19 orang yang luka lainnya, seorang meninggal di rumah sakit.
Peristiwa berdarah ini menimbulkan reaksi pro kontra, sebagaimana terlihat jelas pada perdebatan yang demikian sengit, di Volksraad, pada aneka pemberitahuan media komunikasi massa maupun pada berbagai pernyataan resmi. Pihak aparat pemerintah kolonial dan masyarakat Belanda, pada umumnya menghendaki ditegakkannya wibawa pemerintah. Mereka mendukung tindakan keras terhadap setiap pembangkang, dan membenarkan penembakan terhadap HH beserta keluarganya yang dinilai tidak menaati peraturan pemerintah kolonial. Kelompok ini beranggapan bahwa perlawanan HH dan Pengikutnya memaksa tentara menggunakan senjata. Mereka bahkan menyatakan bahwa tindakan keras ini justru sangat baik demi kepentingan Pribumi sendiri. Mereka menilai peristiwa ini bukan sebagai penembakan terhadap orang-orang tak berdaya yang patut dikasihani, tetapi merupakan tindakan tegas terhadap komplotan rahasia, yang bisa dianggap sebagai organisasi yang hendak mengambil oper kekuasaan. Mereka membandingkan peristiwa ini dengan peristiwa pembunuhan orang-orang Belanda di Cilegon tahun 1888 dan di Toli-Toli 3 Juli 1919, dan beranggapan, orang-orang Eropa tidak akan mati terbunuh kalau mereka tidak ragu menggunakan senjata.
Dalam perkembangan selanjutnya, peristiwa Garut ini dikaitkan erat dengan masalah Jimat dan Afdeeling B serta Sarekat Islam. Isyu yang berkembang kemudian bukan lagi masalah pembelian padi, tapi masalah adanya komplotan rahasia bernama Afdeeling B yang sedang menyusun kekuatan untuk memberontak kepada pemerintah. Pihak pemerintah kolonial menegaskan bahwa komplotan rahasia itu memiliki kartu A dan B sebagai penyamaran. Situasi pun berubah bukan lagi pemerintah kolonial yang harus mawas diri dalam persoalan peraturan wajib jual padi dan pelaksanaannya, tapi Sarekat Islamnya yang harus tampil sebagai terdakwa untuk mempertanggungjawabkan perbuatan yang dituduhkan kepadanya. Itulah sebabnya dalam masalah ini suara pihak pribumi selalu bernada membela diri. Sementara itu dipihak pemerintah kolonial menutup lokaswi peristiwa dari kunjungan orang luar untuk menutup peristiwa Garut ini pada pihak lain. Siapapun tidak dibenarkan meninjau daerah Leles, termasuk wartawan. Gerak-geriknya hazeu selama berada di daerah Garut diawasi pemerintah setempat. Bahkan orang-orang disana diinstruksikan untuk tidak memberikan informasi kepadanya. Pihak pemerintah tetap gencar melancarkan tuduhan bahwa SI terlibat dengan gerakan Afdeeling B. Di beritakan, gerakan revolusioner ini telah tersebar di seluruh daerah Priangan, yakni daerah Ciawi, Bandung, Cianjur dan Sumedang. Di Cianjur gerakan ini baru diresmikan pada bulan januari 1919. Dibuktikan bahwa pimpinan CSI khususnya Sosrokardono, terlibat. Pada Bulan Januari 1919 diberitakan bahwa Sosrokardono berangkat ke Priangan untuk memimpin rapat umum SI di Manonjaya sekaligus ditugaskanmemasukkan Afdeeling B ke dalam naungan SI. Disana ia bertemu dengan H. Sulaiman Ciawi dan H. Adrai wanareja, anggota ikatan ulama yang juga didirikan oleh H. Ismail. Bahkan bupati Garut mengemukakan bukti bahwa SI mempunyai beberapa macam bendera yakni pertama, bendera hitam berarti semua priyayi yang tidak adil harus dibunuh. Kedua, bendera kuning yang berarti semua orang Tionghoa harus dibunuh. Ketiga, benderah putih, berarti Tjokroaminoto akan di nobatkan sebagai raja jawa. Menurut penjelasan sekretaris SI Torongong, “bukti” yang dikemukakan Bupati ini di paksakan kepada orang SI agar ditandatangani. M.Wiradikarta pegawai pegadaian dan Sekretaris SI Garut menjelaskan bahwa ia terpaksa membenarkannya karena takut ancaman. Demikian pula R.Yahya bekas Ketua SI Garut yang sudah ditahan selama sepuluh hari. Gerakan ini diberitakan bertujuan memajukan agama Islam, menaati pemerintah pimpinan menghibahkan sepertiga kekayaan pribumi andaikata gerakkan memerlukan, memberikan dukungan kepada SI dan mengumumkan semua tingkah laku pemerintah yang salah.
Dalam mengkaji peristiwa Garut tidak pula boleh dilupakan situasi dan kondisi pada waktu itu. Pada tahun 1919 itu, Perang Dunia masih menguasai suasana, selain orang pun belum lupa atas peristiwa Cilegon tahun 1888, dan baru saja terjadi peristiwa pembunuhan di Toli – Toli. Semua ini ikut mewarnai alam pikiran masyarakat Belanda pada umumnya, sehingga penampilan Hazeu tidak banyak berarti dalam menghadapi arus kewaspadaan berlebihan ini.

 
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response.
0 Responses
Leave a Reply